Jumat, 02 Oktober 2015

SASTRA.......................



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam  penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Psikologi pengarang  merupakan salah satu wilayah psikologi sastra yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi.  Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra. Didalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan hubungannya dengan psikologi pengarang serta pengaplikasian psikologi pengarang terhadap karya sastra.
Secara teori, terdapat hubungan antara karya dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional seorang penulis akan berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkan. Keadaan yang bahagia tentunya dapat mengispirasi berbagai karya yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya. Setiap penulis memiliki doktrin dan kepercayaan sendiri-sendiri, maka seorang penulis yang idialisme akan memunculkan sastra dengan terkadung nilai doktrin yang kuat. Ketiga, melalui jenjang pendidikan. Karena pendidikan bertujuan mencetak karakter maka penulis banyak menemukan karya sastra yang mengangkat masalah-masalah pendidikan berangkat dari masalah pendidikan penulis sendiri. 

1.2  RUMUSAN MASALAH
Masalah pokok yang dibahas dalam makalah ini:
a.       Apakah pengertian psikologi pengarang?
b.      Apa saja ruang lingkup psikologi pengarang?
c.       Bagaimana hubungan antara psikologi pengarang dengan pendekatan ekspresif?

1.3  TUJUAN
      Masalah dibahas tujuannya untuk mengenal: 
a.       Pengertian psikologi pengarang.
b.      Ruang lingkup psikologi pengarang.
c.        Hubungan antara psikologi pengarang dengan pendekatan ekspresif.

1.4  MANFAAT
Manfaat pembahasan masalah secara umum dalam makalah ini adalah menambah wawasan mengenai definisi dan tujuan psikologi sastra, hubungan psikologi dan sastra, fungsi psikologi dalam sastra serta kaitan antara psikologi sastra dengan psikologi pengarang. Beberapa kesamaan yang didapat dari keduanya, dan pesan yang akan disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui tulisannya.
Secara khusus dapat bermanfaat untuk:
1.      Pemakalah atau calon guru:
-          sebagai ajang latihan untuk melatih daya nalar dan mengasah intelektualiatas pemakalah. Sebagai bukti implementasi ilmu yang diterima di bangku kuliah sekaligus memenuhi tugas psikologi sastra.
2.      Peserta seminar matakuliah psikologi sastra:
-          Mengetahui pengertian psikologi pengarang?
-          Mengetahui ruang lingkup psikologi pengarang?
-          Hubungan antara psikologi pengarang dengan pendekatan ekspresif?
3.      Pembina matakuliah teori belajar bahasa:
-          Dengan adanya kegiatan presentasi matakuliah pskologi sastra, pembina diharapkan dapat memperbaiki kekurangan bagian-bagian tertentu dan penerapannya dalam proses pembelajaran.



BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi Pengarang
Psikologi pengarang merupakan salah satu wialayah psikologi kesenian yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Wellek & Warren dalam Wiyatmi, (2011:30). Dalam kajian ini yang menjadi fokus adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra.
Seperti yang dikemukakan oleh Hardjana dalam Wiyatmi, (2011:30) kajian yang berhubungan dengan kejiwaan ‘keadaan jiwa” sebagai sumber penciptaan puisi yang baik telah dikemukakan oleh Wordsworth, seorang penyair romantik Inggris pada awal abad sembilan belas. Penyair adalah manusia lain manusia yang benar-benar memiliki rasa tanggap yang lebih peka, kegairahan dan kelembutan jiwa yang lebih besar. Manusia yang memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang kodrat manusia dan memiliki jiwa yang lebih tajam dari pada manusia-manusia lain.
Wordsworth dalam Wiyatmi, (2011:30), menjelaskan bahwa “keadaan jiwa” dengan psikologi khusunya, akan melahirkan pengungkapan bahasa puisi yang khususnya pula. Pendirian wordswoth mengenai proses penciptaan puisi yang dikatakannya sebagai pengungkapan alamiah dari perasaan-perasaan yang meluap-luap, dari getaran hati ysng berkembang dalam kesyahduan, juga menunjukan adannya hubungan antara aspek psikologi dalam proses penciptaan puisi.
Merujuk pada pengakuan Subagio dan Situmorang dalam Wiyatmi (2011:32), tampak bahwa karya-karya sastra (puisi) lahir dari seorang penyair yang sedang berada dalam kondisi kejiwaan tertentu. Aritnya, pemahaman seorang peneliti terhadap aspek psikologi pengarang dalam konteks ini perlu dilakukan. Informasi tentang aspek psikologi pengarang , dapat diperoleh bukan hanya dari yang bersangkutan secara langsung, memulai wawancara, ngobrol, maupun tulisan atau buku harianya, tetapi seorang peneliti juga dapat secara langsung bergaul sendiri dan mengamati apa yang terjadi dan dialami oleh seorang pengarang. Namun, hal ini tentu saja hanya dapat dilakukan apabila seorang pengarang masih hidup dan sezaman dengan peneleti. Informasi tentang aspek kejiwaan pengarang juga dapat dari orang-orang terdekat seorang pengarang, keluarga maupun sahabat-sahabatnya. Berdasarkan pengertian, pendapat dan pengakuan proses kreatif Wordsworth dan Subagio Sastrowardoyo, maka dapat dikemukakan bahwa wilayah kajian psikologi pengarang antara lain aspek kejiwaan pengarang yang berhubungan dengan penciptaan karya sastranya, pengalaman individual dan lingkuangan pengarang, dan tujuan khusunya yang mendorong penciptaan karya sastra.

2.2  Hubungan antara Psikologi Pengarang dengan Pendekatan Ekspresif
Karena memfokuskan kajiannya pada aspek kejiwaan pengarang selaku pencipta karya sastra, psikologi pengarang memiliki hubungan dengan pendekatan eskpresif. Seperti dikemukakan oleh Abrams dalam Wiyatmi, (2011:33) pendekatan ekspresif memandang dan mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya.
Dalam hal ini pendekatan ekspresif memiliki  fokus kajian  dan cara yang mirip dalam mengkaji keberadaan pengarang selalu pencipta karya sastra. Walaupun demikian, kalau dicermati lebih lanjut, pendekatan ekspresif memiliki wilayah kajian yang lebih luas karena tidak hanya terbatas pada aspek kejiwaan pengarang, tetapi juga latar belakang sosial budaya tempat pengarang dilahirkan dan berkarya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa  psikologi pengarang, sebenarnya merupakan salah satu wilayah kajian dalam pendekatan ekspresif. Oleh karena itu, untuk memisahkan keduanya pada kasus-kasus pengarang dan karya tertentu sering kali tidak memungkinkan. 
Pendekatan ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran, perasaan; pendekatan itu cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokan vision pribadi penyair atau keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis, yang secara sadar ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut. Dan pendapat lain menyatakan, pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang mengkaji ekspresi perasaan atau temperamen penulis. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitik beratkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam       karya   sastra. http://PelajarBahasaPendekatanEkspresif.htm
Pendekatan kritik ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan atau mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan subjektifitasnya saja, bahkan ada yang beranggapan arbitrer. Padahal, ekspresif yang dimaksud berkenaan dengan daya kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan sebuah karya yang baik dan sarat makna.
Para kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, presepsi-prespsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cendrung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin pengarang/keadaan pikiranya.

2.3       Kajian Psikologi Pengarang dalam Sastra Indonesia : Chairil Anwar Sebuah Pertemuan oleh Arief Budiman 
Dalam  sastra Indonesia kajian psikologi pengarang pernah diterapkan oleh  Arief Budiman dalam bukunya Chairil Anwar Sebuah Pertemuan (1976, 2007) dan Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Berikut ini dipaparkan bagaimana kedua penulis tersebut telah melakukan kajian psikoligi pengarang. Buku Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, semula ditulis oleh Arief Budiman sebagai skripsi sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1971), yang kemudian diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya, Jakarta (1976). Sebagai tulisan yang dipersiapkan oleh seorang calon sarjana psikologi, dalam membaca dan memahami puisi-puisi Chairil Anwar dan diri Chairil Anwar,  Arief Budiman menggunakan  teori psikologi gestalt. Gestalt memahami fenomena perseptual dipelajari langsung dan secara bulat, tidak dibagi-bagi atau dianalisis lebih lanjut. Pilihan terhadap psikologi gestalt tampak pada uraian berikut. Wiyatmi, (2011:35).

Seseorang yang menghayati sebuah karya seni sebenarnya sedang melakukan pertemuan. Pertemuan antara si orang yang menghayati itu dengan karya seni tersebut. Antara keduanya saling perbauran yang dinamis sifatnya. Dari perbauran inilah muncul sebuahnilai, nilai Gestalt atau lebih tepat lagi barangkali nilai Ganzheit, yang terjadi akibat pertemuan subjek dan objek. Nilai ini bersifat unik dan tidak akan muncul kalau keduanya saling terpisah. Ada dua unsur yang berperan dalam perbauran tersebut. Pertama unsur subjek. Subjek di sini ialah manusia yang menghayati. Dia berdiri di muka karya seni itu dengan segala macam pengalaman pribadi dan latar belakang kebudayaan yang unik. Kedua unsur objek, yakni karya seni yang dihayati itu. Dia merupakan taggapan si seniman penciptanya terhadap sesuatu. Dia juga penuh dengan pengalaman-pengalaman subjektif di pencipta. Karena itu dia bukanlah sesuatu yang sederhana, sesuatu yang selesai yang hanya mempunyai satu kemungkinan tafsir saja.Dia adalah ekspresi seluruh kehidupan si seniman dan karena itu karya seni adalah sama majemuknya seperti manusia sendirI. Nilai baru yang lahir akibat perbauran kedua unsur ini adalah unik, karena dia merupakan suatu pembauran yang dinamis dari dua unsur yang setaraf. Nilai itu bukanlah semata-mata subjektif dalam arti si subjek memaksakan diri kepada objeknya, juga tidak objektif karena si subjek tidak bersikap pasif dan hanya menerima nilai-nilai yang dipaksakan oleh si objek (karena ini tidak mungkin). Nilai ini adalah nilai bersama, nilai subjek di dalam objek dan nilai objek di dalam subjek. Saya mencoba menghayati sajak-sajak Chairil Anwar dengan kesadaran penuh akan hal-hal di atas. Di satu pihak saya berdiri dengan segala latar belakang pengalaman kebudayaan saya. Di pihak lain, karyakarya Chairil Anwar berdiri dengan segala kemajemukan yang ada padanya. Antara keduanya terjadi perbauran yang dinamis, masing-masing pihak tidak melepaskan perannya yang aktif dalam proses perbauran itu. 
Setelah mengemukakan  konsep dan caranya menghadapi puisi-puisi Chairil, selanjutnya Budiman menginterpretasikan puisi-puisi Chairil dalam hubungannya dengan situasi kejiwaan yang dialami Chairil sepanjang penulisan karyanya. Budiman menganalisis dan menginterpretasikan puisi-puisi Chairil secara sequence analysis, yaitu dengan memperhatikan keutuhan urutan penulisan puisipuisi tersebut.
Puisi pertama yang dianalisis adalah yang berjudul “Nisan” (Oktober 1942), yang ditulis Chairil dalam usia dua puluh tahun. Puisi ini ditulis ketika dia menghadapi neneknya yang meninggal dunia.

Nisan
Untuk neneknda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu, setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta

Budiman dalam Wiyatmi (2011:37) menginterpretasikan bahwa kematian tersebut membuat Chairil melihat kehidupan dengan warna lain. Dia tiba-tiba merasa sendiri. Kalau kematian begitu berkuasa, pada saat namanya dipanggil, siapa yang bisa menolongnya? Kematian tampaknya harus dia hadapi sebagai seorang individu yang sendirian. Puisi berikutnya yang dianalisis Budiman dalam Wiyatmi (2011:37) adalah “Diponegoro”, yang begitu bergairah mempertahankan hidup:

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
....
“Dan bara kagum menjadi api,”  yang menunjukkan bahwa dia sedang bimbang dan berfikir keras karena berhadapan dengan seorang pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi
hidup ini. Puisi berikutnya yang dianalisis adalah “Tak Sepadan” Menurut Budiman dalam puisi ini Chairil menemukan pilihannya. Dia berkata: “Kau kawin, beranak dan bahagia/ Sedang aku mengembara serupa Ahasveros… Aku merangkaki dinding buta/ Tak satu juga pintu terbuka.” Barisbaris puisi tersebut melukiskan apa yang akan terjadi pada dirinya dengan memilih jalan tersebut. Keadaan tersebut didukung oleh puisi berikutnya, “Sia-sia”, yang mengatakan: “Ah! Hatiku yang tak mau memberi/ Mampus kau dikoyakkoyak sepi.” Puisi berikutnya ”Pelarian” yang menggambarkan daerah pelariannya adalah perempuan-perempuan nakal di pinggir jalan. “Mau apa? Rayu dan pelupa? Aku ada! Pilih saja!”. Menurut Budiman semua keadaan tersebut adalah mekanisme-mekanisme psikologis yang wajar terjadi  pada manusia. Dalam keadaan sulit mekanisme-mekanisme ini secara otomatis bekerja. Kadang-kadang orang jadi mengalami regresi, kembali pada masa kecilnya yang bagi setiap manusia yang tumbuh secaranormal merupakan surga yang telah hilang. Dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Budiman melihat bahwa kematian tampak sebagai sesuatu yang mewarnai puisi Charil. Budiman dalam Wiyatmi (2011:38) mengatakan sebagai berikut.
Ketika berumur dua puluh tahun sajaknya yang pertama diterbitkan bicara tentang kematian. Ketika dia berumur dua puluh tujuh tahun, tahun kematiannya, dia juga bicara tentang kematian. Ini sangat wajar karena pada saat itu, Chairil mengidap beberapa penyakit di dalam tubuhnya, sementara dia juga terus hidup secara tidak teratur. Chairil nampaknya juga tahu bahwa kematiannya sudah dekat di sisinya. Menurut teman-temannya ada beberapa tingkah laku Chairil yang member tanda kea rah ini. H.B. Jassin bercerita bagaimana tiba-tiba Chairil jadi senang dipotret. Juga kepada teman-teman pelukisnya, dia sering minta dibuatkan gambar dirinya. Persoalan yang menarik di sini adalah apakah ada perbedaan pandangan terhadap gejala kematian ini, sesudah dia tujuh tahun bergumul dengan kehidupan secara intens? Untuk menjawab pertanyaan inilah saya ambil sajak-sajak Chairil yang dia tulis pada tahun 1949, tahun kematiannya….

Setelah membaca dan menganalisis beberapa  sajak Chairil seperti “Mirat Muda, Chairil Muda”, “Buat Nyonya N”, “Aku Berkisar di Antara Mereka,” “Yang Terempas dan yang Putus,” Budiman dalam Wiyatmi, (2011:39) mengemukakan bahwa berbeda dengan sajak-sajaknya yang ditulis pada 1942, ketika kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan perhatian yang penuh, pada sajak-sajak 1949, kematian diucapkan dengan cara yang ringan saja. Kematian bukan lagi menjadi objek obsesinya, melainkan sesuatu kenyataan yang sederhana. Dalam sajaknya “Yang Terempas dan yang Putus,” Chairil menghadapi kematian yang tampaknya dia rasakan sudah semakin dekat. Dia mulai berbenah di dalam kamarnya. Terjadi suatu percakapan di dalam dirinya ketika keinginan hidupnya masih mau ikut bicara. “Dalam diriku jika kau datang/ dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu.” Namun, dia tahu akan keadaan dirinya yang tidak kuat lagi untuk melakukan hal itu, sehingga mengatakan: ”kini hanya tangan yang bergerak lantang/ tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.”
Dari ulasan terhadap cara Budiman menganalisis dan menginterpretasikan puisi-puisi Chairil Anwar yang selalu dihubungkan dengan aspek kejiwaan dan perjalanan hidup penyair, tampak adanya aplikasi kajian psikologi pengarang. Dalam kajian tersebut, Budiman selalu berusaha mengembalikan apa-apa yang tergambar dalam sajak Chairil dengan persoalan apa yang sedang dihadapi oleh Chairil seperti tercermin dalam keadaan jiwanya.
Dalam kajian tersebut  kita melihat bagaimana teori psikologi, khususnya psikologi gestalt diaplikasikan untuk memahami kondisi kejiwaan penyair dan sajak (puisi) yang ditulisnya. Budiman memilih judul untuk tulisannya Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, karena dia memang lebih memfokuskan pada  aspek psikologis Chairil yang berkorelasi dengan isi dan bahasa puisi yang ditulisnya. Untuk dapat melakukan kajian semacam ini, maka data biografi pengarang dan kondisi kejiawaannya harus diperoleh dan dipahami secara maksimal. Untuk itu Budiman telah mengumpulkan sejumlah informasi tentang Chairil Anwar dan  kehidupan sehari-harinya dari sejumlah teman dekat Chairil, seperti Sjamsulridwan (salah seorang teman masa kecilnya waktu di Medan) dan S. Soeharto (temannya waktu di Medan).
Sebelum menulis Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, yang merupakan skripsi sarjana psikologi dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 1971, dalam percaturan kritik sastra di Indonesia Budiman sudah dikenal sebagai salah seorang tokoh yang memperkenalkan  aliran kritik sastra Ganzheit, yang memahami karya sastra dengan mendasarkan pada pemikiran psikologi gestalt (Ali, ed. 1978). Dalam sebuah diskusi kritik sastra yang diselenggarakan di Balai Budaya Yogyakarta pada 31 Oktober 1968, bersama dengan Goenawan Mohamad, Arief Budiman pertama kali mengemukakan gagasannya tentang kritik sastra dengan pemikiran psikologi gestalt dalam tulisannya yang berjudul “Tentang Kritik Sastra: Sebuah Pendirian.” Konsep yang ditawarkan oleh Budiman dan Mohamad dalam Wiyatmi (2011:40) adalah bahwa  memahami sebuah karya sastra, seperti memahami seorang manusia, tidaklah memahaminya dengan jalan setapak demi setapak, unsur demi unsur. Bukan elemen-elemen yang datang terlebih dulu kepada kita, melainkan totalitasnya. Hal ini terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari yang dengan jelasnya dibuktikan oleh psikologi gestalt. Model kritik sastra yang ditawarkan oleh Budiman dan Mohamad tersebut  lebih dikenal dengan nama kritik sastra Ganzheit, karena seperti dikemukakan oleh keduanya bahwa dalam kritik ini penilaian terhadap karya sastra timbul secara spontan: jika karya sastra yang kita hayati itu bisa secara langsung menenggelamkan kita dalam satu pertemuan yang akrab, maka kita mengatakan karya itu baik. Keseluruhan kesan yang hidup atau ganzheit itu sejak mula sampai akhir benar-benar hidup dan padu.



2.4 Rangkuman
Psikologi pengarang  merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi.  Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra.
Karena memfokuskan kajiannya pada aspek kejiwaan pengarang selaku pencipta karya sastra, psikologi pengarang memiliki hubungan dengan pendekatan eskpresif. Pendekatan ekspresif memiliki  fokus kajian  dan cara yang mirip dalam mengkaji keberadaan pengarang selalu pencipta karya sastra. Kalau dicermati lebih lanjut, pendekatan ekspresif memiliki wilayah kajian yang lebih luas karena tidak hanya terbatas pada aspek kejiwaan pengarang, tetapi juga latar belakang sosial budaya tempat pengarang dilahirkan dan berkarya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa  psikologi pengarang, sebenarnya merupakan salah satu wilayah kajian dalam pendekatan ekspresif. Oleh karena itu, untuk memisahkan keduanya pada kasus-kasus pengarang dan karya tertentu sering kali tidak memungkinkan.











BAB 3
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Psikologi pengarang merupakan salah satu wialayah psikologi kesenian yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Pada aspek kejiwaan pengarang selaku pencipta karya sastra, psikologi pengarang memiliki hubungan dengan pendekatan eskpresif, seperti dikemukakan oleh Abrams. Pendekatan ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran, perasaan. Dalam  sastra Indonesia kajian psikologi pengarang pernah diterapkan oleh  Arief Budiman dalam bukunya Chairil Anwar Sebuah Pertemuan (1976, 2007) dan Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Berikut ini dipaparkan bagaimana kedua penulis tersebut telah melakukan kajian psikoligi pengarang.














DAFTAR PUSTAKA
WIYATMI. 2011. PSIKOLOGI SASTRA. YOGYAKARTA: KANWA PUBLISHER.
http://PelajarBahasaPendekatanEkspresif.htm