BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Psikologi Sastra adalah analisis
teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya,
psikologi turut berperan penting dalam
penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya
sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan
dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik
batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan
melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Psikologi pengarang
merupakan salah satu wilayah psikologi sastra yang membahas aspek
kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian
adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya
karya sastra. Didalam
makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan
hubungannya dengan psikologi pengarang serta pengaplikasian psikologi pengarang
terhadap karya sastra.
Secara teori, terdapat
hubungan antara karya dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional
seorang penulis akan berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkan. Keadaan
yang bahagia tentunya dapat mengispirasi berbagai karya yang dihasilkan. Begitu
pula sebaliknya. Setiap penulis
memiliki doktrin dan kepercayaan sendiri-sendiri, maka seorang penulis yang
idialisme akan memunculkan sastra dengan terkadung nilai doktrin yang kuat.
Ketiga, melalui jenjang pendidikan. Karena pendidikan bertujuan mencetak
karakter maka penulis banyak menemukan karya sastra yang mengangkat
masalah-masalah pendidikan berangkat dari masalah pendidikan penulis sendiri.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Masalah
pokok yang dibahas dalam makalah ini:
a. Apakah pengertian
psikologi pengarang?
b. Apa saja ruang
lingkup psikologi pengarang?
c. Bagaimana
hubungan antara psikologi pengarang dengan pendekatan ekspresif?
1.3 TUJUAN
Masalah dibahas
tujuannya untuk mengenal:
a. Pengertian psikologi pengarang.
b. Ruang lingkup psikologi pengarang.
c. Hubungan antara psikologi pengarang
dengan pendekatan ekspresif.
1.4 MANFAAT
Manfaat pembahasan masalah secara umum
dalam makalah ini adalah menambah wawasan mengenai definisi dan tujuan psikologi sastra, hubungan
psikologi dan sastra, fungsi psikologi dalam sastra serta kaitan antara psikologi sastra
dengan psikologi pengarang. Beberapa kesamaan yang didapat dari keduanya, dan
pesan yang akan disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui tulisannya.
Secara
khusus dapat bermanfaat untuk:
1.
Pemakalah atau calon guru:
-
sebagai
ajang latihan untuk melatih daya nalar dan mengasah intelektualiatas pemakalah. Sebagai bukti implementasi ilmu
yang diterima di bangku kuliah sekaligus memenuhi tugas psikologi sastra.
2.
Peserta seminar matakuliah psikologi sastra:
-
Mengetahui
pengertian psikologi
pengarang?
-
Mengetahui
ruang lingkup psikologi pengarang?
-
Hubungan
antara psikologi pengarang dengan pendekatan ekspresif?
3.
Pembina matakuliah teori belajar bahasa:
-
Dengan adanya kegiatan presentasi matakuliah pskologi sastra, pembina diharapkan
dapat memperbaiki kekurangan bagian-bagian tertentu dan penerapannya dalam
proses pembelajaran.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi Pengarang
Psikologi
pengarang merupakan salah satu wialayah psikologi kesenian yang membahas aspek
kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Wellek
& Warren dalam Wiyatmi, (2011:30). Dalam kajian ini yang menjadi fokus
adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya
karya sastra.
Seperti
yang dikemukakan oleh Hardjana dalam Wiyatmi, (2011:30) kajian yang berhubungan
dengan kejiwaan ‘keadaan jiwa” sebagai sumber penciptaan puisi yang baik telah
dikemukakan oleh Wordsworth, seorang penyair romantik Inggris pada awal abad
sembilan belas. Penyair adalah manusia lain manusia yang benar-benar memiliki
rasa tanggap yang lebih peka, kegairahan dan kelembutan jiwa yang lebih besar.
Manusia yang memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang kodrat manusia
dan memiliki jiwa yang lebih tajam dari pada manusia-manusia lain.
Wordsworth
dalam Wiyatmi, (2011:30), menjelaskan bahwa “keadaan jiwa” dengan psikologi
khusunya, akan melahirkan pengungkapan bahasa puisi yang khususnya pula.
Pendirian wordswoth mengenai proses penciptaan puisi yang dikatakannya sebagai
pengungkapan alamiah dari perasaan-perasaan yang meluap-luap, dari getaran hati
ysng berkembang dalam kesyahduan, juga menunjukan adannya hubungan antara aspek
psikologi dalam proses penciptaan puisi.
Merujuk
pada pengakuan Subagio dan Situmorang dalam Wiyatmi (2011:32), tampak bahwa
karya-karya sastra (puisi) lahir dari seorang penyair yang sedang berada dalam
kondisi kejiwaan tertentu. Aritnya, pemahaman seorang peneliti terhadap aspek
psikologi pengarang dalam konteks ini perlu dilakukan. Informasi tentang aspek
psikologi pengarang , dapat diperoleh bukan hanya dari yang bersangkutan secara
langsung, memulai wawancara, ngobrol, maupun tulisan atau buku harianya, tetapi
seorang peneliti juga dapat secara langsung bergaul sendiri dan mengamati apa
yang terjadi dan dialami oleh seorang pengarang. Namun, hal ini tentu saja
hanya dapat dilakukan apabila seorang pengarang masih hidup dan sezaman dengan
peneleti. Informasi tentang aspek kejiwaan pengarang juga dapat dari
orang-orang terdekat seorang pengarang, keluarga maupun sahabat-sahabatnya.
Berdasarkan pengertian, pendapat dan pengakuan proses kreatif Wordsworth dan
Subagio Sastrowardoyo, maka dapat dikemukakan bahwa wilayah kajian psikologi
pengarang antara lain aspek kejiwaan pengarang yang berhubungan dengan
penciptaan karya sastranya, pengalaman individual dan lingkuangan pengarang,
dan tujuan khusunya yang mendorong penciptaan karya sastra.
2.2 Hubungan antara Psikologi
Pengarang dengan Pendekatan Ekspresif
Karena memfokuskan kajiannya pada aspek kejiwaan pengarang selaku
pencipta karya sastra, psikologi pengarang memiliki hubungan dengan pendekatan
eskpresif. Seperti dikemukakan oleh Abrams dalam Wiyatmi, (2011:33) pendekatan ekspresif memandang dan mengkaji karya sastra
memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan
ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan
atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi
sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya.
Dalam hal ini pendekatan ekspresif memiliki fokus kajian
dan cara yang mirip dalam mengkaji keberadaan pengarang selalu pencipta
karya sastra. Walaupun demikian, kalau dicermati lebih lanjut, pendekatan
ekspresif memiliki wilayah kajian yang lebih luas karena tidak hanya terbatas
pada aspek kejiwaan pengarang, tetapi juga latar belakang sosial budaya tempat
pengarang dilahirkan dan berkarya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa psikologi pengarang, sebenarnya merupakan
salah satu wilayah kajian dalam pendekatan ekspresif. Oleh karena itu, untuk
memisahkan keduanya pada kasus-kasus pengarang dan karya tertentu sering kali tidak
memungkinkan.
Pendekatan ekspresif
mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan
perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan
pikiran-pikiran, perasaan; pendekatan itu cenderung menimbang karya sastra
dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokan vision pribadi penyair atau
keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya sastra fakta-fakta
tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis, yang secara sadar
ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut. Dan pendapat
lain menyatakan, pendekatan ekspresif merupakan pendekatan
yang mengkaji ekspresi perasaan atau temperamen penulis. Pendekatan ekspresif
adalah pendekatan yang menitik beratkan perhatian
kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. http://PelajarBahasaPendekatanEkspresif.htm
Pendekatan kritik
ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan atau mencurahkan
segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses
penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan subjektifitasnya
saja, bahkan ada yang beranggapan arbitrer. Padahal, ekspresif yang dimaksud
berkenaan dengan daya kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga
menghasilkan sebuah karya yang baik dan sarat makna.
Para kritikus
ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur
pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, presepsi-prespsi dan perasaan yang
dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cendrung menimba karya sastra
berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin
pengarang/keadaan pikiranya.
2.3 Kajian Psikologi Pengarang dalam Sastra Indonesia : Chairil
Anwar Sebuah Pertemuan oleh Arief Budiman
Dalam sastra Indonesia
kajian psikologi pengarang pernah diterapkan oleh Arief Budiman dalam bukunya Chairil Anwar
Sebuah Pertemuan (1976, 2007) dan Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi
dalam Sajak (1980). Berikut ini dipaparkan bagaimana kedua penulis tersebut
telah melakukan kajian psikoligi pengarang. Buku Chairil Anwar Sebuah
Pertemuan, semula ditulis oleh Arief Budiman sebagai skripsi sarjana dari
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1971), yang kemudian diterbitkan oleh
penerbit Pustaka Jaya, Jakarta (1976). Sebagai tulisan yang dipersiapkan oleh
seorang calon sarjana psikologi, dalam membaca dan memahami puisi-puisi Chairil
Anwar dan diri Chairil Anwar, Arief
Budiman menggunakan teori psikologi
gestalt. Gestalt memahami fenomena perseptual dipelajari langsung dan secara
bulat, tidak dibagi-bagi atau dianalisis lebih lanjut. Pilihan terhadap
psikologi gestalt tampak pada uraian berikut. Wiyatmi, (2011:35).
Seseorang yang menghayati sebuah karya seni sebenarnya sedang melakukan
pertemuan. Pertemuan antara
si orang yang menghayati itu dengan karya seni tersebut.
Antara keduanya saling perbauran yang dinamis sifatnya.
Dari perbauran inilah muncul sebuahnilai, nilai Gestalt atau lebih tepat lagi
barangkali nilai Ganzheit, yang terjadi akibat
pertemuan subjek dan objek. Nilai ini bersifat
unik dan tidak akan muncul kalau keduanya
saling terpisah. Ada dua unsur yang berperan dalam perbauran tersebut. Pertama unsur subjek. Subjek di sini ialah
manusia yang menghayati. Dia berdiri di muka karya seni itu dengan segala macam
pengalaman pribadi dan latar belakang kebudayaan yang unik. Kedua unsur objek,
yakni karya seni yang dihayati itu. Dia merupakan taggapan si seniman
penciptanya terhadap sesuatu. Dia juga penuh dengan pengalaman-pengalaman
subjektif di pencipta. Karena itu dia bukanlah sesuatu yang sederhana, sesuatu
yang selesai yang hanya mempunyai satu kemungkinan tafsir saja.Dia adalah
ekspresi seluruh kehidupan si seniman dan karena itu karya seni adalah sama
majemuknya seperti manusia sendirI. Nilai baru yang lahir akibat perbauran
kedua unsur ini adalah unik, karena dia merupakan suatu pembauran yang dinamis
dari dua unsur yang setaraf. Nilai itu bukanlah semata-mata subjektif dalam
arti si subjek memaksakan diri kepada objeknya, juga tidak objektif karena si
subjek tidak bersikap pasif dan hanya menerima nilai-nilai yang dipaksakan oleh
si objek (karena ini tidak mungkin). Nilai ini adalah nilai bersama, nilai subjek
di dalam objek dan nilai objek di dalam subjek. Saya mencoba menghayati
sajak-sajak Chairil Anwar dengan kesadaran penuh akan hal-hal di atas. Di satu
pihak saya berdiri dengan segala latar belakang pengalaman kebudayaan saya. Di
pihak lain, karyakarya Chairil Anwar berdiri dengan segala kemajemukan yang ada
padanya. Antara keduanya terjadi perbauran yang dinamis, masing-masing pihak
tidak melepaskan perannya yang aktif dalam proses perbauran itu.
Setelah mengemukakan konsep
dan caranya menghadapi puisi-puisi Chairil, selanjutnya Budiman menginterpretasikan
puisi-puisi Chairil dalam hubungannya dengan situasi kejiwaan yang dialami
Chairil sepanjang penulisan karyanya. Budiman menganalisis dan menginterpretasikan
puisi-puisi Chairil secara sequence analysis, yaitu dengan memperhatikan
keutuhan urutan penulisan puisipuisi tersebut.
Puisi pertama yang dianalisis adalah yang berjudul “Nisan”
(Oktober 1942), yang ditulis Chairil dalam usia dua puluh tahun. Puisi ini
ditulis ketika dia menghadapi neneknya yang
meninggal dunia.
Nisan
Untuk neneknda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu, setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Budiman dalam
Wiyatmi (2011:37)
menginterpretasikan bahwa kematian tersebut membuat Chairil melihat kehidupan
dengan warna lain. Dia tiba-tiba merasa sendiri. Kalau kematian begitu berkuasa,
pada saat namanya dipanggil, siapa yang bisa menolongnya? Kematian tampaknya
harus dia hadapi sebagai seorang individu yang sendirian. Puisi
berikutnya yang dianalisis Budiman dalam Wiyatmi (2011:37) adalah
“Diponegoro”, yang begitu bergairah mempertahankan hidup:
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
....
“Dan bara kagum menjadi api,”
yang menunjukkan bahwa dia sedang bimbang dan berfikir keras karena
berhadapan dengan seorang pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi
hidup ini. Puisi berikutnya yang dianalisis adalah “Tak Sepadan” Menurut
Budiman dalam puisi ini Chairil menemukan pilihannya. Dia berkata: “Kau kawin,
beranak dan bahagia/ Sedang aku mengembara serupa Ahasveros… Aku merangkaki
dinding buta/ Tak satu juga pintu terbuka.” Barisbaris puisi tersebut
melukiskan apa yang akan terjadi pada dirinya dengan memilih jalan tersebut.
Keadaan tersebut didukung oleh puisi berikutnya, “Sia-sia”, yang mengatakan: “Ah!
Hatiku yang tak mau memberi/ Mampus kau dikoyakkoyak sepi.” Puisi berikutnya
”Pelarian” yang menggambarkan daerah pelariannya adalah perempuan-perempuan
nakal di pinggir jalan. “Mau apa? Rayu dan pelupa? Aku ada! Pilih saja!”.
Menurut Budiman semua keadaan tersebut adalah mekanisme-mekanisme psikologis
yang wajar terjadi pada manusia. Dalam
keadaan sulit mekanisme-mekanisme ini secara otomatis bekerja. Kadang-kadang
orang jadi mengalami regresi, kembali pada masa kecilnya yang bagi setiap
manusia yang tumbuh secaranormal merupakan surga yang telah hilang. Dalam
puisi-puisi Chairil Anwar, Budiman melihat bahwa kematian tampak sebagai
sesuatu yang mewarnai puisi Charil. Budiman dalam Wiyatmi (2011:38)
mengatakan sebagai berikut.
Ketika berumur dua puluh tahun sajaknya yang pertama diterbitkan
bicara tentang kematian. Ketika dia berumur dua puluh tujuh tahun, tahun kematiannya, dia juga bicara tentang kematian. Ini sangat wajar karena pada saat itu, Chairil mengidap beberapa penyakit di dalam tubuhnya, sementara dia juga terus hidup
secara tidak teratur. Chairil nampaknya juga tahu bahwa kematiannya sudah dekat
di sisinya. Menurut teman-temannya ada beberapa tingkah laku Chairil yang member
tanda kea rah ini. H.B. Jassin bercerita bagaimana tiba-tiba Chairil jadi
senang dipotret. Juga kepada teman-teman pelukisnya, dia sering minta dibuatkan
gambar dirinya. Persoalan yang menarik di sini adalah apakah ada perbedaan
pandangan terhadap gejala kematian ini, sesudah dia tujuh tahun bergumul dengan
kehidupan secara intens? Untuk menjawab pertanyaan inilah saya ambil
sajak-sajak Chairil yang dia tulis pada tahun 1949,
tahun kematiannya….
Setelah membaca dan menganalisis beberapa sajak Chairil seperti “Mirat Muda, Chairil
Muda”, “Buat Nyonya N”, “Aku Berkisar di Antara Mereka,” “Yang Terempas dan
yang Putus,” Budiman dalam
Wiyatmi, (2011:39) mengemukakan bahwa berbeda dengan sajak-sajaknya yang ditulis
pada 1942, ketika kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan perhatian yang
penuh, pada sajak-sajak 1949, kematian diucapkan dengan cara yang ringan saja.
Kematian bukan lagi menjadi objek obsesinya, melainkan sesuatu kenyataan yang
sederhana. Dalam sajaknya “Yang Terempas dan yang Putus,” Chairil menghadapi kematian
yang tampaknya dia rasakan sudah semakin dekat. Dia mulai berbenah di dalam
kamarnya. Terjadi suatu percakapan di dalam dirinya ketika keinginan hidupnya
masih mau ikut bicara. “Dalam diriku jika kau datang/ dan aku bisa lagi lepaskan
kisah baru padamu.” Namun, dia tahu akan keadaan dirinya yang tidak kuat
lagi untuk melakukan hal itu, sehingga mengatakan: ”kini hanya tangan yang
bergerak lantang/ tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu
beku.”
Dari ulasan terhadap cara Budiman menganalisis dan menginterpretasikan
puisi-puisi Chairil Anwar yang selalu dihubungkan dengan aspek kejiwaan dan
perjalanan hidup penyair, tampak adanya aplikasi kajian psikologi pengarang. Dalam
kajian tersebut, Budiman selalu berusaha mengembalikan apa-apa yang tergambar
dalam sajak Chairil dengan persoalan apa yang sedang dihadapi oleh Chairil
seperti tercermin dalam keadaan jiwanya.
Dalam kajian tersebut kita
melihat bagaimana teori psikologi, khususnya psikologi gestalt diaplikasikan
untuk memahami kondisi kejiwaan penyair dan sajak (puisi) yang ditulisnya.
Budiman memilih judul untuk tulisannya Chairil Anwar Sebuah Pertemuan,
karena dia memang lebih memfokuskan pada
aspek psikologis Chairil yang berkorelasi dengan isi dan bahasa puisi
yang ditulisnya. Untuk dapat melakukan kajian semacam ini, maka data biografi
pengarang dan kondisi kejiawaannya harus diperoleh dan dipahami secara maksimal.
Untuk itu Budiman telah mengumpulkan sejumlah informasi tentang Chairil Anwar
dan kehidupan sehari-harinya dari
sejumlah teman dekat Chairil, seperti Sjamsulridwan (salah seorang teman masa
kecilnya waktu di Medan) dan S. Soeharto (temannya waktu di Medan).
Sebelum menulis Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, yang
merupakan skripsi sarjana psikologi dari Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia tahun 1971, dalam percaturan
kritik sastra di Indonesia Budiman sudah
dikenal sebagai salah seorang tokoh yang
memperkenalkan aliran kritik sastra
Ganzheit, yang memahami karya sastra dengan
mendasarkan pada pemikiran psikologi gestalt
(Ali, ed. 1978). Dalam sebuah diskusi kritik sastra
yang diselenggarakan di Balai Budaya Yogyakarta pada 31 Oktober 1968, bersama dengan Goenawan Mohamad, Arief
Budiman pertama kali mengemukakan gagasannya tentang
kritik sastra dengan pemikiran psikologi gestalt
dalam tulisannya yang berjudul “Tentang Kritik
Sastra: Sebuah Pendirian.” Konsep yang
ditawarkan oleh Budiman dan Mohamad dalam Wiyatmi (2011:40) adalah bahwa memahami
sebuah karya sastra, seperti memahami seorang
manusia, tidaklah memahaminya dengan jalan
setapak demi setapak, unsur demi unsur. Bukan
elemen-elemen yang datang terlebih dulu kepada
kita, melainkan totalitasnya. Hal ini terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari yang dengan jelasnya dibuktikan
oleh psikologi gestalt. Model kritik sastra yang
ditawarkan oleh Budiman dan Mohamad
tersebut lebih dikenal dengan nama
kritik sastra Ganzheit, karena seperti
dikemukakan oleh keduanya bahwa dalam kritik
ini penilaian terhadap karya sastra timbul secara spontan: jika karya sastra yang kita hayati itu bisa secara
langsung menenggelamkan kita dalam satu pertemuan
yang akrab, maka kita mengatakan karya itu
baik. Keseluruhan kesan yang hidup atau ganzheit
itu sejak mula sampai akhir benar-benar
hidup dan padu.
2.4 Rangkuman
Psikologi pengarang
merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas aspek
kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian
adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya
karya sastra.
Karena memfokuskan kajiannya pada aspek kejiwaan pengarang selaku
pencipta karya sastra, psikologi pengarang memiliki hubungan dengan pendekatan
eskpresif. Pendekatan ekspresif memiliki
fokus kajian dan cara yang mirip
dalam mengkaji keberadaan pengarang selalu pencipta karya sastra. Kalau
dicermati lebih lanjut, pendekatan ekspresif memiliki wilayah kajian yang lebih
luas karena tidak hanya terbatas pada aspek kejiwaan pengarang, tetapi juga
latar belakang sosial budaya tempat pengarang dilahirkan dan berkarya. Dalam
hal ini dapat dikatakan bahwa psikologi
pengarang, sebenarnya merupakan salah satu wilayah kajian dalam pendekatan
ekspresif. Oleh karena itu, untuk memisahkan keduanya pada kasus-kasus
pengarang dan karya tertentu sering kali tidak memungkinkan.
BAB 3
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Psikologi
pengarang merupakan salah satu wialayah psikologi kesenian yang membahas aspek
kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Pada aspek kejiwaan pengarang selaku pencipta karya sastra,
psikologi pengarang memiliki hubungan dengan pendekatan eskpresif, seperti
dikemukakan oleh Abrams. Pendekatan ekspresif
mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan
perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan
pikiran-pikiran, perasaan. Dalam sastra Indonesia kajian psikologi pengarang pernah
diterapkan oleh Arief Budiman dalam
bukunya Chairil Anwar Sebuah Pertemuan (1976, 2007) dan Subagio Sastrowardoyo,
Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Berikut ini dipaparkan bagaimana kedua
penulis tersebut telah melakukan kajian psikoligi pengarang.
DAFTAR PUSTAKA
WIYATMI. 2011. PSIKOLOGI SASTRA. YOGYAKARTA: KANWA
PUBLISHER.
http://PelajarBahasaPendekatanEkspresif.htm